Minggu, 02 Januari 2011

palagan ambarawa

PERTEMPURAN AMBARAWA – MAGELANG

Kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan sejak 17 Agustus tahun 1945, namun bangsa Indonesia masih mengalami berbagai macam rongrongan atau gangguan yang datang baik itu berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
Pemerintah Belanda masih tetap ingin menguasai Indonesia. Namun kali ini kedatangan pasukan Belanda di wilayah Indonesia yang membonceng pasukan Sekutu dan Inggris disambut dengan berbagai perlawanan oleh bangsa Indonesia. Sejak tahun 1945 hingga tahun 1950 telah terjadi berbagai macam pertempuran antara pihak Indonesia dengan Belanda yang dibantu oleh Inggris dan Sekutu, antara lain: Pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945, Palagan Ambarawa, Medan Area, Bandung Lautan Api, Peristiwa Merah Putih di Manado, dan Pertempuran Margarana 20 Nopember 1946. Diantara pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut, hanya Palagan Ambarawa yang akhirnya mampu mengusir Belanda dan Sekutu
Pertempuran Ambarawa sering disebut Palagan Ambarawa. Palagan Ambarawa terjadi pada tanggal 20 Nopember 1945 dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran ini terjadi antara pasukan TKR bersama masyarakat Indonesia melawan Sekutu – Inggris.

Latar Belakang
Peristiwa ini berlatar belakang insiden di Magelang, yaitu sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari devisi India ke 23. Pihak Republik Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah Republik Indonesia untuk mengurus masalah tawanan perang Bangsa Belanda yang ada di penjara Ambarawa dan Magelang. Akan tetapi kedatangan pasukan Sekutu – Inggris diikuti oleh orang-orang NICA (Nederland Indische Civil Administration) yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di Kota Magelang yeng berkembang menjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan Pasukan Gabungan Sekutu – Inggris dan NICA. Insiden ini berhenti setelah Presiden Ir. Soekarno dan Brigadir Jendral Bethel dating ke Magelang tanggal 2 Nopember 1945. Mereka mengadakan perundingan Gencatan Senjata dan diperoleh kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal. Naskah persetujuan itu antara lain berisi :
a. Pihak sekutu akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk melindungi dan mengevakuasi APWI (Allied Presoners War and Interneers) atau tawanan perang interniran Sekutu. Jumlah pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan keperluan itu.
b. Jalan Ambarawa – Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia – Sekutu
c. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Pihak sekutu ternyata mengingkari perjanjian ini. Pada tanggal 20 Nopember 1945 di Ambarawa pecah pertampuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 Nopember 1945 pasukan sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa, namun tanggal 22 Nopember 1945 bertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman terhadap kampong-kampung yang berada di sekitar Ambarawa.
Pasukan TKR bersama dengan pasukan pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di Belanda, sehingga membentuk edan sepanjang rel kereta api dan membelah Kota Ambarawa.
Sementara itu dari arah Magelang Pasukan TKR dan Divisi V / Purwokerto di bawah pimpinan Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 Nopember 1945 dan berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya yang telah diduduki Sekutu.
Batalyon Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya disusul batalyon dari Yogyakarta, yaitu Batalyon X Divisi III di bawah pimpinan Mayor Suharto, Batalyon 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono dan Batalyon Sugeng. Musuh akhirnya terkepung. Walaupun demikian pasukan musuh mencoba mematahkan perkepungan dengan mengancam kedudukan pasukan kita dari belakang dengan tank-tanknya. Untuk menghindari jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bedono dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin oleh M. Sarbini, Batalyon Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie Sastroadmodjo dan Batalyon dari Yogyakarta. Akhirnya gerakan Sekutu – Inggris NICA berhasil ditahan di Desa Jambu.
Para komandan pasukan kemudian mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempt di Magelang. Sejak saat itu Ambarawa di bagi menjadi 4 sektor, yaitu Sektor Utara, Sektor Selatan, Sektor Barat dan Sektor Timur.
Pada tanggal 26 Nopember 1945 Pimpinan pasukan TKR dari Purwokerto yitu Letnan Kolonel Isdiman gugur dan digantikan oleh Kolonel Sudirman. Situasi perang menguntungkan pasukan TKR. Pasukan Sekutu – Inggris terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945, yang merupakan garis pertahanan terdepan.
Pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Sudirman mengambil prakarsa untuk mengumpulkan masing-masing komandan sektor. Akhirnya Kolonel Sudirman mengambil suatu kesimpulan bahwa pasukan musuh telah terjepit dan untuk itu perlu dilaksanakan serangan terakhir. Serangan direncanakan pada tanggal 12 Desember 1945 pukul 04.50 yang dipimpin oleh masing-masing komandan yang akan melakukan serangan secara mendadak dari semua sektor. Adapun keberadaan badan-badan perjuangan dapat menjadi tenaga cadangan.
Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari pasukan-pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing-masing. Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan di benteng Willem I Ambarawa yang terletak di tengah-tengak kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting karena letaknya yang strategis. Apabila musuh mampu menguasai Ambarawa, mereka dapat mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta, Magelag dan terutama Yogyakarta yang menjadi pusat kedudukan Markas Tertinggi TKR.