Rabu, 26 September 2012

DATA SEJARAH KABUPATEN PEMALANG

Setiap tanggal 24 Januari selalu diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Pemalang. Pada tanggal 24 Januari pada tahun 1575 dianggap sebagai lahirnya Pemalang sebagai daerah pemerintahan setingkat kabupaten. Namun keberadaan suatu daerah tidaklah berdiri secara tiba-tiba, namun jauh sebelumnya tentu saja sudah ada kehidupan masyarakat yang membentuk kebudayaan di daerah tersebut. A. LEGENDA KABUPATEN PEMALANG Legenda merupakan ceritra prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Legenda yang berkembang di daerah Pemalang merupakan legenda setempat dimana berhubungan dengan nama Pemalang sendiri dan beberapa wilayah di wilayah Pemalang. Terdapat beberapa legenda yang menunjukkan asal usul Pemalang, antara lain: a. Berdasar Watak (Kepribadian) Orang Pemalang Masyarakat Pemalang memiliki semboyan “Banteng Wareng ing Payudan tan Sinayudan – Rawe-rawe rantas Malang-malang Putung”. yang memiliki arti bahwa rakyat Pemalang jika sudah dilukai atau dijajah berani berjuang. Biarpun rakyat kecil, namun bila berada di arena peperangan tidak bisa dicegah. Dalam melawan musuh sambil sinonderan sampai berselendang usus tak akan menyerah. b. Nama Penguasa Di Pemalang pernah terdapat penguasa yang bernama Raden Sambungyudo. Beliau adalah keturunan dari Komandan perang dari Kerajaan Majapahit pada saat Perang Bubat yang bernama Ki Bondan Lamatan. Tokoh Ki Bondan Lamatan ini berguru kepada sesepuh Agama Pemalang yang bernama Ki Buyut Banjaransari. Ki Bondan lamatan ini tidak kembali ke majapahit namun menetap di pemalang hingga memiliki seorang anak yang bernama Joko Malang. Joko Malang inilah yang nantinya bernama Raden Sambungyudo yang menjadi pimpinan daerah Pemalang. Maka nama Pemalang berasal dari tempatnya Joko Malang. c. Berasal dari nama Kali Malang Di Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang terdapat sungai yang bernama Kali Malang. Di sungai ini pulalah terdapat muara dari Sungai Comal. Bahwa di desa sebelah barat Sungai Comal membujur dari Desa Kendaldoyong ke Desa Asemdoyong terdapat bekas alur yang menunjukkan adanya bekas aliran sungai dari timur ke barat dan membingungkan orang yang akan berbuat jahat. Karena sungai tersebut mengalir dari timur ke barat atau malang maka daerah tersebut dinamakan “pemalang”. Kisah sungai Malang ini berkaitan pada waktu Patih Talabuddin utusan dari Panembahan Yusup yang akan mengambil keris Kyai Tapak. Setelah mencuri keris, Patih Talabuddin melewati sungai Malang dan akhirnya keder atau bingung. Akhirnya niat buruk untuk membawa Keris Kyai Tapak tersebut urung dan diserahkan lagi ke Kadipaten Pemalang. Namun perkembangan selanjutnya, sungai tersebut pada masa kolonial dibuat lurus karena lumpur yang dibawa sungai bisa mencapai 5 (lima) meter, sehingga merubah bentuk aliran sungai. d. Berasal dari kata “Pra” dan “Malang” Konon diceritakan bahwa Daerah Tegal dan Pemalang selalu berselisih paham secara tradisi. Dan Pemalang merupakan bukti sebagai batas atau penghalang di tengah-tengah antara Tegal dan Pekalongan. Maka Pemalang berasal dari kata “pra” yang berarti permulaan / yang pertama dan “malang” yang berarti penghalang atau mencegah. Di sini peran masyarakat sebagai pemalang atau penghalang masyarakat yang saling bersengketa. B. MASA KLASIK Pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, nama Rakai Panaraban dipercaya masyarakat Pemalang sebagai penguasa di Panaraban Warung Asem Pekalongan. Sebagai buktinya terdapat beberapa nama tempat yang berawalan “Ci”, seperti Cikadu, Cikendung, Cibuyur, Cibelok, Cibuluk, Ciawet, Ciomal (Comal), Cilincing dan masih banyak lagi. Sedangkan pusat keagamaan berada di Gunung Mendelem. Di Pemalang tidak terdapat candi karena Bukit Mendelem dengan ketinggian yang sama dengan Gunung Slamet telah mewakili sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Selain itu, di Pemalang juga tidak terdapat batu andesit, malainkan batu granit, sehingga diperkirakan sulit untuk membentuk sebuah candi karena sifat batu yang sangat keras namun mudah patah. Di bukit mendelem ditemukan beberapa temuan patung. Sejarah Pemalang dapat dikaitkan dengan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8 di Jawa Tengah dimana wilayah intinya diperkirakan dari daerah Kedu memanjang sampai wilayah Dieng. Walaupun belum dikenal nama Pemalang, namun daerah ini karena berada di bawah dataran tinggi Dieng, maka daerah Pemalang boleh dibayangkan sebagai pintu gerbang Mataram Kuno. Sayang daerah tersebut belum sempat berkembang karena perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Sehingga keberadaan daerah Pemalang seperti daerah tak bertuan. Pada masa kekuasaan Kerajaan Majapahit, tepatnya pada tahun 1357 - 1358 M, daerah Pemalang pernah dimanfaatkan oleh Patih Gajah Mada sebagai pangkalan perang ke Sriwijaya. Dukungan orang Pemalang di bawah pimpinan Ki Buyut Jiwandono atau Ki Buyut Banjaransari yang membuahkan hasil gemilang. Oleh karena itu sedikitnya 17 nama daerah di Pemalang dijadikan daerah perdikan, yaitu suatu wilayah yang tidak dipungut pajak karena dianggap berjasa. Daerah Pemalang mulai tampak dan berkembang pada akhir tahun 1350 M, dimana kekuasaan Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan di bawah kekuasaan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada. Dengan adanya Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Gajah Mada yang bertekat untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit. Pengaruh Kerajaan Majapahit kala itu sampai ke Pulau Madagaskar di dekat Benua Afrika. Peran Pemalang dalam penakhlukan daerah oleh kerajaan majapahit adalah pada saat penakhlukan Pajajaran daerah Pasundan. Pada tahun 1348 Masehi terjadilah Perang Bubat. Dimana terjadi peperangan antara prajurit Majapahit dengan rombongan pengantin yang membawa Diah Pitaloka dari Kerajaan Pajajaran. Pinangan Hayam Wuruk terhadap Diah Pitaloka adalah siasat agar Pajajaran jatuh ke bawah panji-panji Majapahit. daerah Bubat tidak dijelaskan secara detail. Namun di daerah Pemalang terdapat nama Babadan. Di Pemalang berkembang cerita bahwa terdapat komandan perang yang bernama Bondan Lamatan tidak pulang ke Majapahit dan menetap di Pemalang karena berguru dengan Ki Buyut Banjaransari. Tokoh Bondan Lamatan ini nantinya memiliki keturunan yang bernama Joko Malang atau Raden Sambungyudo. C. MASA ISLAM a. Awal berkembangnya Agama Islam Pada tahun 1500 sampai dengan 1586 M (abad XVI), Pemalang perhatian dari para wali. setidaknya beberapa nama tokoh Islam yang berdakwah di pemalang antara lain Shech Jambu Karang, Kyai Natas Angin, Kyai Geseng, Ki Bantar Bolang, Kyai Palintaran, Sech Pandanjati dan lain lain. Adapun titik-titik penyebaran Agama Islam berpusat di daerah Watu Kumpul, Ulujami dan Bantar Bolang. b. Masa Kerajaan Pajang Pada masa Kekuasaan Kerajaan Pajang yang berada di bawah tampuk kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, muncul istilah “Pemalang Komplang”. Pada saat itu jabatan Adipati di Pemalang dipegang oleh putra dari Ki Gede Sambung Yudo yang bernama Adipati Anom Windu Galbo dan patih bernama Ki Gede Murti. Setelah Ki Gede Murti wafat, maka jabatan patih digantikan oleh putranya yang bernama Patih Jiwo Negoro. Kekosongan kekuasaan terjadi pada saat Adipati Anom Windu Galbo mangkat. Kekosongan Kadipaten Pemalang pada abad ke XVI sementara jabatan Adipati dirangkap oleh Patih Jiwo Negoro. Sultan Hadiwijaya menerima laporan dari Kadipaten Pemalang bahwa Pemalang tidak ada penguasanga, atau istilah orang Pemalang adalah “Pemalang Komplang”. Oleh karena itu Sultan Hadiwijaya segera memerintahkan putranya yang bernama Pangeran Benowo untuk menjabat di kabupaten Pemalang. Keberadaan Kadipaten Pemalang dipandang Sultan Hadiwijaya merupakan daerah yang gawat. Pemalang, konon ceritanya sebagai “Kutha Pemalang” atau penghalang semua orang yang akan berbuat jahat. Maka Sultan Hadiwijaya memberikan syarat kepada Pangeran Benowo bahwa sebelum menjabat sebagai Adipati di Kadipaten Pemalang, Pangeran Benowo harus pergi ke Banten untuk menemui Sultan Banten yang bernama Panembahan Yusuf untuk meminta ‘Keris Kyai Tapak’. keris tersebut dipercaya akan menimbulkan sifat kendel atau berani menghadapi segala situasi. Selain itu Pangeran Benowo dibekali Pusaka Keris Kyai Setan Kober yang merupakan pusaka rampasan dari Jipang atau Arya Penangsang. Guna melegitimasi kekuasaannya di Kadipaten Pemalang, Pangeran Benowo di bekali Serat Kekancing menjabat di Kadipaten pemalang dan Surat ke Panembahan Yusuf agar meminjamkan Keris yang dahulu dibawa Fatahillah dari Kerajaan Demak. (Panembahan Yusuf adalah cucu dari Fatahillah yang pernah menjabat sebagai panglima perang Kerajaan Demak) . Kedatangan Pangeran Benowo di Kadipaten Pemalang disambut dengan gembira. Layang Kekancing dari Sultan Hadiwijaya langsung diumumkan oleh Patih Jiwo Negoro ke seluruh Punggawa Praja dan segenap lapisan masyarakat. Jumenengan atau pengesahan atas dasar Layang Kekancing dari Sultan Hadiwijaya tersebut menyebutkan bahwa Pangeran Benowo putra Pajang diangkat sebagai penguasa Kadipaten Pemalang yang membawahi Pemalang, Tegal dan Brebes pada hari Jumat Pon, 24 Januari 1575 Masehi atau 2 Syawal 1496 (Je) atau tahun 982 Hijriyah. Jumenengan dilakukan pada bulan Syawal dengan maksud pada saat serah terima jabatan dari Patih Jiwo Negoro ke Pangeran Benowo sekaligus bisa diadakan silaturahmi atau halal bihalal antara penguasa kadipaten dan bawahannya. hari itu bertepatan dengan musim hujan, pertanda wilayah Pemalang subur makmur loh jinawi, gemah ripah karto toto raharjo. Kisah Patih Jiwo Negoro atau yang dikenal sebagai “Patih Sampun” sangat melegenda di kalangan masyarakat Pemalang. Beliau merupakan putra asli Pemalang yang terkenal kesaktiannya. Sang patih terkenal dengan kata “sampun dados Sang Adipati”. Apapun yang diperintah Adipati Benowo selalu siap seperti yang dikehendaki Sang Adipati. Pada saat diadakan jumenengan, pangeran Benowo heran karena tidak ada pertunjukan, maka dengan spontan saat itu juga mendatangkan penari Gamyong yang bernama Nyi Sarinten lengkap dengan gamelan dan nayogo. Kehebatan Patih Sampun juga dapat di dijumpai sampai saat ini dengan dibangunnya jalan dan tak kurang dari 17 jembatan di Pemalang. Atas jasa-jasa Sang patih, Pangeran Benowo memberi isuda dengan nama Patih Sampun Jiwo Negoro. Hubungan Pemalang dan Banten dalam kisah selanjutnya menjadi renggang. Hal ini dikarenakan Portugis mulai mendarat di Banten. Kerajaan Banten mengalami kekacauan. Apalagi Ratu Kalinyamat juga mengadakan penyerangan ke banten. Kemudian Panembahan Yusuf mengutus Patih Talabudin untuk meminta kembali keris Kyai Tapak. Berkat kesaktian Patih Sampun, Patih Talabudin yang telah membawa Keris Kyai Tapak menjadi bingung di Kali Malang. maka akhirnya Patih talabudin menyerah dan mengabdi di Pemalang sebagai penyebar Agama Islam dan mengatur perekonomian hingga meninggal dan dimakamkan di Pedurungan, Taman, Pemalang. c. Masa Kerajaan Mataram Islam Pada 1582 M dikisahkan bahwa Sultan Adiwijaya (Hadiwijaya) jatuh sakit ketika bermaksud menyerbu mataram hingga akhirnya mangkat. Maka terjadi ketegangan perebutan kekuasaan. Pangeran Benowo merupakan putra sulung, namun ia lahir dari istri selir. Sedangkan dari perkawinannya dengan putri Sultan Trenggono terdapat putri yang menikah dengan Adipati Demak. Atas usul Sunan Kudus, Pajang diserahkan kepada Adipati Demak. Pangeran Benowo merasa tidak adil, sehingga dia meminta bantuan Ngabei Loring Pasar dengan merelakan haknya atas Pajang kepada Ngabei Loring Pasar. Keberhasilannya mengalahkan Adipati Demak, maka kekuasaan Pajang jatuh dan Kerajaan pindah ke Mataram dengan rajanya Ngabei Loring Pasar yang bergelar Senopati Ing Alaga Sayidin panata Gama pada tahun 1586 M Pada masa kekuasaan Sultan Agung, Mataram mempunyai cita-cita untuk menjadikan wilayah Pulau Jawa sebagai daerah di bawah panji-panji Kerajaan Mataram. Untuk dapat mencapai cita-cita tersebut maka Sultan Agung harus dpat mengusir VOC dari wilayah Batavia. Maka pada tahun 1628 M, ia mengirimkan pasukannya untuk menyerang Batavia, namun serangan ini gagal karena pasokan logistik dan perlengkapan yang kurang. Serangan kedua kembali dilakukan pada tahun 1629 M dengan mempersiapkan pasukan perangnya dan mendirikan lumbung-lumbung padi di sepanjang jalan yang dilalui oleh pasukan Mataram. Salah satu lumbung padi tersebut didirikan di daeah Tegal. Dan peran Pemalang pada saat itu adalah sebagai terminal kecil pasokan logistik yang ada di Tegal. Namun sayangnya pendirian lumbung-lumbung padi tersebut diketahui oleh VOC dan berakhir dengan kekalahan karena lumbung-lumbung padi tersebut dibakar oleh pasukan VOC. Pemalang sudah tercakup pada nama sandi jangka jayabaya JA-LA-DU-LANG-MAS (Jogja – Sala – Kedu – Pemalang – Banyumas). Ada yang menyebutkan bahwa kata “JALA” bukan menyebutkan Jogja dan Sala melainkan diartikan segitiga. Pemalang adalah salah satu dari daerah Mancanegara. Ketiga daerah tersebut membentuk segitiga yang selalu penting dalam memegang percaturan perjalanan sejarah D. MASA KOLONIAL Keadaan geografis Kabupaten pemalang sangat subur. Dalam sejarah disebutkan bahwa dalam laporan Tuan Dr. De Hean tahun 1622-1623 dengan mengambil jurusan Tegal, Pemalang, Wiradesa dan Pekalongan. Dilaporkan bahwa Pemalang dan Wiradesa penuh dengan persawahan yang subur. Juga disebutkan dalam laporan Tuan Pieter Franssen saat perjalanan pada tahun 1630 bahwa di Pemalang terdapat banyak sawah. Pada tahun 1745 H, Kerajaan Mataram pindah ke daerah Sala. Konsep keraton masih menggunakan lingkaran-lingkaran konsentris dimana keraton sebagai pusatnya. Peran Pemalang adalah sebagai Monconegoro Kilen (Bang Kilen) selain Banyumas, Banjarnegara, Cilacap dan Karesidenan Bagelen. namun setelah tahun 1830, seluruh wilayah Monconegoro merupakan wilayah Belanda. Bukti nyata tentang kesuburan bumi Pemalang, dibuktikan dengan banyaknya pabrik gula yang didirikan, seperti Pabrik Gula Sumberharjo, Pabrik Gula Banjardawa yang telah dibumihanguskan pada masa revolusi 1945, Pabrik Gula Petarukan yang telah dibumihanguskan pula pada masa revolusi, Pabrik Gula Comal Baru yang merupakan pabrik gula terbesar di Indonesia di samping Pabrik Gula Jatiroto di Jawa Timur, Pabrik Gula Comal Lama dan Pabrik Gula Sragi. Keberadaan pabrik gula tersebut didukung adanya beberapa sungai yang tergolong berukuran besar di Pemalang. sungai-sungai tersebut sampai sekarang dapat dilayari sampai jauh ke pedalaman, seperti Sungai Sragi, Sungai Waluh dan Sungai Comal. Hal ini terbukti dengan penemuan sebuah jangkar besi yang ditemukan pada tahun 1967 di bawah jembatan Ujung Gedhe. Pada jangkar tersebut terdapat tulisan 1848 yang diasumsikan adalah angka tahun pembuatan. Di Desa Sungapan dibuatlah bendungan di atas Sungai Waluh dan airnya disalurkan ke beberapa sungai. Guna kepentingan Politik Cultuur Stelsel bendungan tersebut dibangun untuk kepentingan pengambilan dan distribusi gula dari Pabrik Gula. http://nguriurijawa.blogspot.com/2012/01/raden-maoneng-bojongbata-pemalang.html --> tentang maoneng

SEJARAH KABUPATEN WONOGIRI

SEJARAH KABUPATEN WONOGIRI Sejarah lahirnya pemerintahan di Wonogiri tidak terlepas dari peran Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo. Demikian pula mythos ataupun legenda di Wonogiri juga lebih banyak berlatar belakang perjuangan Pangeran Sambernyowo. Namun wilayah Wonogiri telah terdapat kebudayaan yang berkembang pada masa-masa sebelumnya. A. MASA PRA SEJARAH Di Kabupaten Wonogiri terdapat berbagai bukti temuan artefact di beberapa goa di Kabupaten Wonogiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di wilayah Kabupaten Wonogiri pernah menjadi peradaban pada masa pra sejarah. B. MASA KLASIK Di wilayah Wonogiri ditemukan Candi Bendo Kasur. Namun dari temuan ini-pun belum menggambarkan aliran agama. Hal tersebut dikarenakan kondisi candi yang sudah aus dan tinggal pondasi. Selain itu juga terdapat patung Ganesha. Patung Ganesha tersebut mampu menggambarkan bahwa Kabupaten Wonogiri pada masa klasik beragama Hindu Shiwa. C. MASA ISLAM a. Masa Kerajaan Demak Sejarah Wonogiri pada masa Islam muncul pada masa Kerajaan Demak. Pada tahun 1478 M merupakan pergantian Kadipaten Bintaro menjadi sebuah kasultanan yang bernama Kasultanan Demak Bintoro. Sejak Kerajaan Majapahit runtuh, maka banyak kadipaten-kadipaten kecil yang semula merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit akhirnya bergabung dengan Kasultanan Demak. Seiring dengan berdirinya Kasultanan Demak, Raden Patah sebagai pemegang tampuk kepemimpinan menitahkan untuk membangun sebuah Masjid Agung yang digunakan untuk beribadah dan tempat pertemuan / silaturahmi. Dari sumber tradisional yang berupa cerita babad maupun legenda diketahui bahwa Masjid Agung Demak sangat berperan dalan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa, bahkan pengaruhnya terasa sampai di luar Pulau Jawa seperti Malaysia. Konon Masjid Agung Demak ini dibuat oleh para Wali yang tergabung dalam Wali Songo dan digunakan untuk tempat pertemuan saat membicarakan soal-soal keagamaan dan masalah Islam lainnya. Cerita legenda yang bersifat simbolis mengisahkan bahwa Masjid Agung Demak dibuat oleh para Wali dalam 1 (satu) malam. Keempat saka guru Masjid Agung Demak merupakan sumbangan dari 4 (empat) wali yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Sedangkan saka berukir yang dipasang di serambi masjid dipercaya berasak dari Kerajaan Majapahit dan disebut “Saka Majapahit”. Sehubungan dengan hal tersebut, Kabupaten Wonogiri memiliki peran yang sangat penting. Seperti wali yang lainnya, Sunan Giri segera melaksanakan tugasnya untuk mencari kayu jati. Beliau mencari kayu jati ke arah selatan menyusuri Sungai Bengawan Solo. Dikisahkan sepanjang perjalanan selalu melewati hutan dan gunung. Sampailah perjalanan Sunan Giri di sebuah hutan di sebuah gunung yang penuh dengan Pohon Jati. Melalui ijin dari Ki Donosari si pemilik hutan tersebut, Sunan Giri memilih pohon jati yang sangat tua yang tinggi, besar dan lurus. Untuk memudahkan cara pengangkutan kayu jati tersebut dihanyutkan melalui Sungai Kedawung yang bermuara di Sungai Bengawan Solo. Di sini terdapat cerita legenda bahwa saat mengangkut kayu ke sungai Kedawung, Ki Donosari memerintahkan sinden untuk naik di atas kayu dan melantunkan tembang mocopat. Anehnya, kayu terasa lebih ringan dan mudah dibawa. Sesampainya di Sungai Kedawung, Sunan Giri memberi nama daerah tersebut “Wonogiri”, karena sepanjang jalan yang dilihatnya hanya hutan dan gunung. Dalam perjalanannya Sunan Giri melewati sebuah gunung. Di sana menemui orang yang selalu membuntuti dari Bintaro. Maka Sunan Giri memerintahkan untuk menunggui daerah tersebut dan memberi nama daerah tersebut “Gunung Giri” yang berarti bukit kecil yang ditumbuhi pohon jati. Pada masa Kerajaan Mataram Islam di daerah ini didirikan astana para kerabat keraton. b. Masa Kerajaan Mataram (Kartasura) Perkembangan organisasi pemerintahan pada masa Islam di Wonogiri dimulai di Nglaroh, salah satu daerah yang pada masa sekarang masuk dalam wilayah Desa Pule, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Berdasar pada temuan watu gilang yang konon merupakan tempat duduk Pangeran Samber Nyawa atau Raden Mas Said. Tempat tersebut juga dipercaya sebagai lahirnya pemerintahan di Wonogiri. Raden Mas Said adalah salah satu pangeran dari Kerajaan Mataram (Kartasura) yang mengasingkan diri karena ketidakadilan di dalam keraton. Raden Mas Said lahir di Kartasuro pada hari Minggu Legi, tanggal 4 Ruwah 1650 tahun Jimakir, Windu Adi Wuku Wariagung, atau bertepatan dengan tanggal Masehi 8 April 1725. Raden Mas Said merupakan putra dari Kanjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro dan Raden Ayu Wulan yang wafat saat melahirkannya. Sementara itu saat usia 2 tahun sudah ditinggal ayahnya Pangeran Ario Mangkunegoro, Salah satu raja Mataram (Kartasura) karena diasingkan oleh pemerintah Belanda di bawah perintah Kapitan Van Hogendorff di Cailon (Srilanka) dalam rangka memecah belah persatuan di tubuh keraton dan digantikan oleh PB II. Hal itu karena ulah keji berupa fitnah dari Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo. Akibatnya, Raden Mas Said mengalami masa kecil yang jauh dari selayaknya seorang bangsawan Keraton. Raden Mas Said menghabiskan masa kecil bersama anak-anak para abdi dalem lainnya, sehingga mengerti betul bagaimana kehidupan kawula alit. Di lain pihak, RM Said merupakan cucu dari Mas Sumarsono (istri PB II) yang berasal dari Nglaroh, Wonogiri. Pada usia 13 tahun, RM. Said diberi jabatan sebagai Manteri Anom dengan sebutan RM. Suryokusumo, sejajar dengan Abdi Dalem Menteri. Perlakuan ini dianggap semena-mena, karena RM. Said seharusnya menjadi Pangeran Sentana. Sehingga RM. Said tidak menyukai sikap PB II yang selalu tunduk kepada aturan Belanda . Hingga pada hari Rabu Kliwon, tanggal 3 Rabiulawal (Mulud) Windu Sengara, 1666 Tahun Jawa atau tanggal 19 Mei 1741 M, RM. Said yang didampingi neneknya BRA. Kusumonarso beserta pengikutnya meninggalkan istana menuju Dusun Nglaroh, Wonogiri guna menyusun kekuatan melawan pasukan Kapitan Van Hogendorff (bukan PB II). Hari yang sama rombongan telah sampai tujuan dan langsung membangun pusat pemerintahan beserta perlengkapannya (institusi pemerintah) yang terdiri dari RM. Sutowijoyo sebagai senopati dan Ki Wirodiwongsi (warga setempat) sebagai patih serta 22 orang sebagai prajurit. Dalam mengendalikan perjuangannya, Raden Mas Said mengeluarkan semboyan yang sudah menjadi ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah “Kawulo Gusti” atau “Pamoring Kawulo Gusti” sebagai pengikat tali batin antara pemimpin dengan rakyatnya, luluh dalam kata dan perbuatan, maju dalam derap yang serasi bagaikan keluarga besar yang sulit dicerai-beraikan musuh. Ikrar tersebut berbunyi “tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh”. pasukan inti kemudian berkembang menjadi perwira-perwira perang yang mumpuni dengan sebutan Punggowo Baku Kawandoso Joyo. c. Pemerintahan di Nglaroh Pemerintahan yang dibangun oleh RM. Said di Dusun Nglaroh diawali tepat pada hari Rabu Kliwon, Tanggal 3 Rabiul Awal Tahun 1666 dengan candra sengkala “Roso Retu Ngoyeg Jagad” atau bertepatan dengan tanggal 19 Mei 1741 M dengan surya sengkala “Kahutaman Sumebaring Giri Linuwih”. Bentuk pemerintahan di Dusun Nglaroh masih sangat terbatas dan sangat sederhana dan dikemudian hari menjadi simbol semangat pemersatu perjuangan rakyat. Tanggal ini pula yang dijadikan hari jadi Kabupaten Wonogiri. Inisiatif untuk menjadikan Wonogiri (Nglaroh) sebagai basis perjuangan Raden mas Said, adalah dari rakyat Wonogiri sendiri ( Wiradiwangsa) yang kemudian didukung oleh penduduk Wonogiri pada saat itu. Raden Mas Said juga menciptakan suatu konsep manajemen pemerintahan yang dikenal sebagai Tri Darma yaitu : 1. Mulat Sarira Hangrasa Wani, artinya berani mati dalam pertempuran karena dalam pertempuran hanya ada dua pilihan hidup atau mati. Berani bertindak menghadapi cobaan dan tantangan meski dalam kenyataan berat untuk dilaksanakan. Sebaliknya, disaat menerima anugerah baik berupa harta benda atau anugerah lain, harus diterima dengan cara yang wajar. Hangrasa Wani, mau berbagi bahagia dengan orang lain. 2. Rumangsa Melu Handarbeni, artinya merasa ikut memiliki daerahnya, tertanam dalam sanubari yang terdalam, sehingga pada akhirnya pada akhirnya akan menimbulkan perasaan rela berjuang dan bekerja untuk daerahnya. Merawat dan melestarikan kekayaan yang terkandung didalamnya. 3. Wajib Melu Hangrungkebi, artinya dengan merasa ikut memiliki timbul kesadaran untuk berjuang hingga titik darah penghabisan untuk tanah kelahirannya. D. MASA KOLONIAL a. Kondisi Wonogiri saat akhir Keraton Mataram (Kartasura) Pada tahun 1741 M, pada saat perjalanan RM. Said dan rombongan menuju Dusun Nglaroh, Daerah Wonogiri belum terjamah Belanda. Berdasar dari sebuah kisah, bahwa sepanjang jalan menuju Nglaroh suasananya sangat nyaman dan tentram. Namun masyarakat setempat mengetahui keberadaan Kolonial Belanda di Surakarta (Pusat pemerintahan) dan bersikap membenci terhadap kolonial Belanda. Hal ini sangat menguntungan RM. Said dalam rangka menyusun kekuatan untuk menentang kolonial Belanda. b. Perjuangan RM. Said Melawan Penjajah Kegigihan Raden Mas Said dalam memerangi musuh-musuhnya sudah tidak diragukan lagi, bahkan hanya dengan prajurit yang jumlahnya sedikit, tidak akan gentar melawan musuh. Raden Mas Said merupakan panglima perang yang mumpuni, terbukti selama hidupnya sudah melakukan tidak kurang 250 kali pertempuran dengan tidak menderita kekalahan yang berarti. Dari sinilah Raden Mas Said mendapat julukan “Pangeran Sambernyawa” karena dianggap sebagai penebar maut (Penyambar Nyawa) bagi siapa saja musuhnya pada setiap pertempuran. Cerita tentang perjuangan RM. Said tertuang dalam cerita rakyat. Dikisahkan terjadi pertempuran di Dusun Dlepih, Tirtomoyo. Pasukan RM. Said dikepung oleh pasukan Belanda. Semua jalan telah tertutup dan satu-satunya jalan hanya menyeberangi sungai yang sedang banjir. Dalam menghadapi kesulitan tersebut, RM Said mengambil tindakan menendang pohon beringin yang berada di pinggir kali hingga roboh melintangi sungai. Dengan segera pasukan RM. Said meniti pohon beringin tersebut. Saat Belanda mengejar dengan jalan yang sama, pasukan RM. Said segera menyambut dengan senjata. Dalam menghadapi perjuangan RM. Said, Belanda mengalami kerugian besar. Pertempuran tersebut membutuhkan dana yang sangat besar. Demikian pula pasukannya banyak yang tewas. Belanda merasa kewalahan sehingga mencari jalan damai melalui suatu perundingan. Berdasar Perjanjian Salatiga, RM Said dinobatkan menjadi Raja Pura Mangkunegaran dan berhak atas tanah 6000 karya beserta daerah-daerah yang dikuasainya terlebih dahulu. c. Kerajaan Mangkunegaran Berkat keuletan dan ketangguhan Raden Mas Said dalam taktik pertempuran dan bergerilya sehingga luas wilayah perjuangannya meluas meliputi Ponorogo, Madiun dan Rembang bahkan sampai daerah Yogyakarta. Pada akhirnya atas bujukan Sunan Paku Buwono III, Raden Mas Said bersedia diajak ke meja perundingan guna mengakhiri pertempuran. Dalam perundingan yang melibatkan Sunan Paku Buwono III, Sultan Hamengkubuwono I dan pihak Kompeni Belanda, disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat daerah kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji atau mandiri bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I. Penetapan wilayah kekuasaan Raden Mas Said terjadi pada tanggal 17 Maret 1757 melalui sebuah perjanjian di daerah Salatiga. Kedudukannya sebagai Adipati Miji sejajar dengan kedudukan Sunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengkubuwono I dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Keduwang (daerah Wonogiri bagian timur), Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar), Sembuyan (daerah sekitar Wuryantoro dan Baturetno), Matesih, dan Gunung Kidul. KGPAA Mangkunegoro I membagi wilayah Kabupaten Wonogiri menjadi 5 (lima) daerah yang masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan, yaitu : 1. Daerah Nglaroh (wilayah Wonogiri bagian utara, sekarang masuk wilayah kecamatan Selogiri). Sifat rakyat daerah ini adalah Bandol Ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol atau berkumpul. Karakteritik ini sangat positif dalam kaitannya untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Rakyat di daerah Nglaroh juga bersifat pemberani, suka berkelahi, membuat keributan akan tetapi jika bisa memanfaatkan potensi rakyat Nglaroh bisa menjadi kekuatan dasar yang kuat untuk perjuangan. 2. Daerah Sembuyan (wilayah Wonogiri bagian selatan sekarang Baturetno dan Wuryantoro), mempunyai karakter sebagai Kutuk Kalung Kendho yang berarti bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau mempunyai sifat paternalistik. 3. Daerah Wiroko (wilayah sepanjang Kali Wiroko atau bagian tenggara Kabupaten Wonogiri sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtomoyo). Masyarakat didaerah ini mempunyai karakter sebagai Kethek Saranggon, mempunyai kemiripan seperti sifat kera yang suka hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan tata krama sopan santun. Jika didekati mereka kadang kurang mau menghargai orang lain, tetapi jika dijauhi mereka akan sakit hati. Istilahnya gampang-gampang susah. 4. Daerah Keduwang (wilayah Wonogiri bagian timur) masyarakatnya mempunyai karakter sebagai Lemah Bang Gineblegan. Sifat ini bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuk-tepuk. Masyarakat daerah ini suka berfoya-foya, boros dan sulit untuk melaksanakan perintah. Akan tetapi bagi seorang pemimpin yang tahu dan paham karakter sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, maka mereka akan mudah diarahkan ke hal yang bermanfaat. 5. Daerah Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar) mempunyai karakter seperti Asu Galak Ora Nyathek. Karakteristik masyarakat disini diibaratkan anjing buas yang suka menggonggong akan tetapi tidak suka menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, dan yang terkesan adalah sifat kasar menakutkan. Akan tetapi mereka sebenarnya baik hati, perintah pimpinan akan dikerjakan dengan penuh tanggungjawab. Dengan memahami karakter daerah-daerah tersebut, Raden Mas Said menerapkan cara yang berbeda dalam memerintah dan mengendalikan rakyat diwilayah kekuasaannya, menggali potensi yang maksimal demi kemajuan dalam membangun wilayah tersebut. Pada tahun 1775 M, Kasunanan Surakarta telah jatuh di tangan kolonial Belanda dengan berdirinya Benteng Vasternburg di dekat keraton. Wonogiri juga sedikit banyak berpengaruh dengan keberadaan Penjajahan tersebut. Di bawah perintah Mangkunegara I, Kabupaten Wonogiri selalu giat melawan kolonial Belanda. Raden Mas Said memerintah selama kurang lebih 40 tahun dan wafat pada tanggal 28 Desember 1795. Setelah Raden Mas Said meninggal dunia, kekuasaan trah Mangkunegaran diteruskan oleh putra-putra beliau. Pada masa kekuasaan KGPAA Mangkunegara VII terjadi peristiwa penting sekitar tahun 1923 M yakni perubahan status daerah Wonogiri yang dahulu hanya berstatus Kawedanan menjadi Kabupaten. Saat itu Wedana Gunung Ngabehi Warso Adiningrat diangkat menjadi Bupati Wonogiri dengan pangkat Tumenggung Warso Adiningrat. Akibat perubahan status ini, wilayah Wonogiri pun dibagi menjadi 5 Kawedanan yaitu Kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro. Pada saat itu di wilayah kekuasaan Mangkunegaran dilakukan penghematan anggaran keraton dengan menghapuskan sebagian wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar sehingga wilayah Mangkunegaran manjadi dua yaitu Kabupaten Mangkunegaran dan Kabupaten Wonogiri. Ini berlangsung sampai tahun 1946. d. Masa Cultuur Stelsel Pada masa tanam paksa, Pemerintah Hidia-Belanda membangun jalur rel kereta api Semarang – Surakarta (110 Km) pada tanggal 10 Februari 1870. Hal ini merupakan salah satu cara agar pengangkutan hasil bumi ke Kota Semarang semakin lancar. Terkait dengan hal tersebut, Wonogiri banyak menyumbangkan hasil buminya kepada kasunanan Surakarta untuk diserahkan kepada Pemerintah Hindia-Belanda. Sementara itu pengangkutan kayu dari Wonogiri menuju Solo masih menggunakan cikar yang ditarik kuda atau sapi. Jalur kereta api (KA) antara Solo-Wonogiri sendiri baru dibangun pada tanggal 1 April 1923 dan kemudian dioperasikan oleh Netherlands Indische Spoorwage (NIS) sebuah perusahaan swasta Pemerintah Hindia Belanda. Panjang jalur 33 kilometer, sebagian darinya melintas di tengah Kota Solo. Kereta api Bengawan Wonogiri atau yang lebih dikenal dengan Kereta Feeder Wonogiri. Kereta ini lebih difungsikan untuk kereta penumpang dengan stasiun yang terletak di Giripurwo, Wonogiri, Wonogiri dan berketinggian +144 m dpl. e. Masa Politik Etis Untuk kepentingan pendidikan, pada tahun 1927 pemerintah Hindia-Belanda juga mendirikan sekolah di Wonogiri. Sejak pemerintahan Belanda menerapkan politik Etis banyak sekolah mulai didirikan, walaupun sekolah-sekolah tersebut tidak sebanding dengan jumlah anak usia sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan adalah untuk kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi maupun administrasi. Jadi sama sekali tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Pada awalnya didirikan Sekolah Bumi Putra bagi para priyayi. Sekolah bumiputra Kelas Satu kelak menjadi Holands Inlandse School (HIS). Namun anak keluaran HIS pada umumnya tidak dapat diterima di sekolah yang lebih tinggi tingkatannya dalan hal ini MULO karena kurang kepandaiannya, teutama mengenai Bahasa Belanda. E. MASA KEMERDEKAAN Sejak Republik Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945 sampai tahun 1946 di wilayah Mangkunegaran terjadi dualisme pemerintahan, yaitu Kabupaten Wonogiri masih dalam wilayah monarki Mangkunegaran dan di lain pihak menginginkan Kabupaten Wonogiri masuk dalam sistem demokrasi Republik Indonesia. Timbulah gerakan Anti Swapraja yang menginginkan Wonogiri keluar dari sistem kerajaan Mangkunegaran. Akhirnya disepakati bahwa Kabupaten Wonogiri tidak menghendaki kembalinya Swapraja Mangkunegaran. Sejak saat itu Kabupaten Wonogiri mempunyai status seperti sekarang, dan masuk sebagai Kabupaten yang berada diwilayah Propinsi Jawa Tengah. Sekitar tahun 1948, ada usaha penjajah Belanda ingin berkuasa kembali dengan cara mengirimkan pasukan lengkap dengan persenjataannya, ke wilayah Surakarta selatan untuk menguasai Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri. Menyikapi manuver tentara Belanda itu, sejumlah pejuang TRI berinisiatif memasang tiga buah track bom di ketiga dasar tiang jembatan agar jembatan hancur, agar tentara Belanda tidak dapat melaju ke Wonogiri. Tapi skenario peledakan jembatan tidak berjalan sesuai rencana. Karena hanya satu bom yang terpasang di tengah yang meledak. Dua bom lainnya, di tiang jembatan sisi utara dan selatan, gagal meledak. Jembatan Nguter rusak di bagian tengahnya. Hal ini cukup menghambat laju pernyusupan tentara Belanda ke Wonogiri. Meskipun kemudian, Belanda menempuh cara melintasi Bengawan Solo dengan meniti jembatan kereta api (KA), dan berupaya memperbaiki bagian tengah jembatan Nguter yang rusak oleh ledakan bom. Selesai perbaikan, kemudian dicoba untuk lewat. Tapi dua tank tempur Belanda berserta kelengkapan amunisinya, terjerumus ke dasar sungai Bengawan Solo. Dua tank tempur itu tidak dapat diangkat ke atas karena terbenam lumpur.

Turing Mbudur