Rabu, 02 Oktober 2013

Sarekat Islam


Sarekat Dagang Islam (SDI)
Lahirnya Sarikat Islam tak lepas dari keberadaan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh seorang wartawan Tirtoadisuryo di wilayah Batavia pada tahun 1905. Pada tahun 1911, perkumpulan ini meluas sampai ke daerah Bogor. Pada tahun itu juga, Tirtoadisuryo mendorong H. Samanhudi, seorang pedagang batik dari Solo untuk mendirikan perkumpulan yang sama. Pada akhir tahun 1911, Haji Samanhudi menghimpun para pengusaha batik di dalam sebuah organisasi yang bercorak agama dan ekonomi, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) Solo yang pada akhirnya mampu lebih berkembang dari SDI Batavia.
Sarekat Dagang Islam dibentuk dengan tujuan mengimbangi pedagang-pedagang dari Timur asing seperti Cina, Arab dan India. Bila ditinjau dari anggaran dasarnya, tujuan Sarekat dagang Islam meliputi Mengembangkan jiwa dagang bagi anggotanya; Membantu anggota-anggotanya yang kesulitan dalam berusaha; Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajad rakyat; Hidup menurut perintah Agama Islam.
Dari tujuan yang tercantum dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik. namun dari perkembangannya yang pesat dari segi anggota dan wilayahnya, maka menimbulkan kekhawatiran pihak Pemerintah Hindia-Belanda. Oleh karena itu Gubernur Jendral Idenburg yang berkuasa pada waktu itu meminta nasehat dari residen untuk menentukan kebijakan politiknya. Pada bulan Agustus 1912, pemerintah mengeluarkan peraturan umum yang melarang Sarekat Islam menerima anggota baru dan mengadakan rapat. 

Sarekat Islam (SI)
Pada bulan November 1912, Ketua Sarekat Dagang Islam diganti oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Sedangkan H. Samanhudi berperan sebagai Ketua Kehormatan. pergantian struktur pemimpin tersebut sekaligus mengganti nama Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaannya menjadi lebih luas, bukan dari kalangan pedagang saja, melainkan dari masyarakat luas. SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Keanggotaan SI bersifat terbuka sehingga mampu menyentuh lapisan masyarakat bawah yang selalu tertindas. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Dalam Kongres pertamanya yang diadakan pada bulan Januari 1913, HOS. Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan untuk meningkatkan perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat Indonesia. Adapun tujuan dasar dari Sarekat Islam meliputi: Mengembangkan jiwa dagang; Memberikan bantuan kepada anggotanya yang menderita kesulitan; Memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya derajat bumiputra; Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama Islam; Hidup menurut perintah agama.
Kiprah SI dalam pers tertuang dalam Surat kabar SI “Oetoesan Hindia”. Oetoesan Hindia merupakan surat kabar Sarekat Islam yang terbit pertama kali pada bulan Desember 1912 di Soerabaya. “Oetoesan Hindia adalah corong bagi pergerakan SI. HOS Tjokroaminoto adalah direktur administrasi dan sekaligus pemimpin redaksinya. HOS Tjokroaminoto adalah jurnalis yang rutin menulis di Oetoesan Hindia ini paling tidak satu kali dalam sebulan. Topiknya beragam, mulai persoalan politik, hukum, hingga perdebatan antara paham sosialisme dan Islam.
Peraturan pemerintah terkait dengan SI semakin berkembang pada tahun 1913 dikeluarkan peraturan lagi yang menetapkan bahwa organisasi cabang harus berdiri sendiri menjadi SI local / afdeling. Pada tahun 1915, SI berhasil membentuk 50 cabang organisasi di berbagai kota. Politik segmentasi (pemisahan) terhadap SI bertujuan untuk mengurangi kekuasaan pengurus pusatnya dan SI afdeling mudah diawasi oleh pegawai pamong praja setempat serta menghindari bahaya aksi massa secara nasional. 
Pertumbuhan SI yang cepat dan tanpa adanya koordinasi mengakibatkan  sebagian besar pengikutnya tidak mengetahui tujuan dasar SI. Dengan keadaan yang demikian tentu timbul adanya penyimpangan-penyimpangan dari perjuangan SI. Terdapat beberapa aksi massa yang mengatasnamakan SI, seperti gerakan anti Cina di Surakarta, Bangil, Tuban, Rembang dan Kudus (1918) serta gerakan anti judi dan pelacuran di Batavia.
SI sebagai  Partai Politik
Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central SI sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh terdepan dalam Centraal Sarekat Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad, karena volksraad dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang hanya mementingkan urusan penjajahan di Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak kaum pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah menyuarakan agar bangsa Hindia (Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri, yang hal ini ditolak oleh pihak Belanda.
Perubahan perjuangan SI terlihat dari Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober 1917, Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29 September hingga 6 Oktober 1918 di Surabaya. Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan jika Belanda tidak melakukan reformasi sosial berskala besar, SI akan melakukannya sendiri di luar parlemen.

SI Afdeling Semarang
Sarekat Islam Semarang didirikan oleh Raden Muhammah Joesoep bersama Raden Soedjono pada awal tahun 1913 yang merupakan cabang dari Sarekat Islam Surakarta. Seperti halnya SI, Sarekat Islam Semarang merupakan organisasi berasaskan agama Islam dengan tujuan awal berdiri adalah faktor ekonomi yaitu persaingan dagang dengan pedagang-pedagang Cina. Karena pengaruh paham sosialis-revolusioner Sarekat Islam Semarang dalam pergerakannya menjadi radikal. 

Pengaruh Marxisme
Benih-benih Marxisme pada awalnya disebarkan oleh Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Semua ia bekerja sebagai anggota staf redaksi surat kabar Soerabajasch Handelsblad. Pada tahun 1913 ia pindah ke Semarang menjadi sekretris Semarangse Handelsvereeniging. H.J.F.M. Sneevliet merasa beruntung menetap di Semarang karena daerah tersebut merupakan pusat dari Vereeniging Van Spooren Tramweg Prsoneel (VSTP), serikat buruh tertua di Indonesia. H.J.F.M. Sneevliet membawa VSTP ke arah yang lebih radikal.
Pada tanggal 9 Mei 1914, H.J.F.M. Sneevliet berhasil mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda. Namun ISDV dirasa lambat berkembang karena tidak mengakar pada rakyat Indonesia. Oleh karena itu ISDV menganggap bersekutu dengan organisasi local lebih efektif. Langkah pertama bergabung dengan Insilinde, satu organisasi yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, namun hasilnya tidak memuaskan. SI yang sedang mangalami perkembangan pesat dipandang efektif sebagai jembatan penghubung kepada rakyat Indonesia. ISDV akhirnya berhasil melakukan penyusupan (infiltrasi) ke dalam cabang SI. Kondisi kepartaian pada saat itu memungkinkan seseorang menjadi anggota lebih dari satu partai. Di sini ISDV memberi kesempatan anggota SI menjadi anggota ISDV dan sebaliknya. ISDV mampu dengan mudah menyusup ke tubuh SI karena pada waktu itu Central Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat SI masih lemah, sehingga cabang SI bertindak sendiri secara bebas. Selain itu tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda merupakan daya tarik tersendiri. Dalam waktu satu tahun, Sneevliet telah memiliki pengaruh yang kuat di tubuh SI. hal tersebut didukung keadaan harga yang membubung tinggi dan rendahnya upah buruh akibat Perang Dunia I.

SI Pecah menjadi SI Merah dan SI Putih
Dengan usaha yang baik, Faham Marxisme berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI Merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.
Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi  ISDV ke dalam tubuh SI antar lain Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen adalah ketua SI Semarang. Sementara itu Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV. Di lainpihak akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang melanda pada tahun 1917 di Semarang.
SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo) berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.
Pada tahun 1919 terdapat beberapa tokoh ISDV golongan Eropa yang tertangkap. Maka tokoh-tokoh Indonesia muncul sebagai tokoh ISDV diantaranya Semaun dan Darsono. Kedua tokoh tersebut berpengaruh besar terhadap SI Semarang yang bersikap radikal. Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu H. Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).

Lahirnya Partai Komunis Indonesia
Di tengah-tengah tertangkapnya anggota ISDV golongan Eropa pada tahun 1919, maka muncul tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang menduduki jabatan di tubuh ISDV, seperti Semaun dan Darsono. Di dalam tubuh SI-pun, kedua tokoh tersebut mendapatkan jabatan yang penting, yaitu sebagai Komisaris Wilayah Jawa Tengah dan sebagai juru propaganda SI. Sementara itu pada tahun 1918, organisasi Social Demokratische Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda berubah menjadi Partai Komunis. Sejalan dengan hal tersebut, ISDV di Indonesia terutama dari golongan Eropa mengusulkan untuk mengikuti jejak SDAP untuk membentuk Partai Komunis. Tertanggal 23 Mei 1920, terbentuklan Partai Komunis Hindia. Kemudian pada bulan Desember 1920 diganti Partai Komunis Indonesia dengan Semaun menjadi ketua dan Darsono wakilnya.