Sarekat Dagang Islam (SDI)
Lahirnya Sarikat
Islam tak lepas dari keberadaan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan
oleh seorang wartawan Tirtoadisuryo di wilayah Batavia pada tahun 1905. Pada
tahun 1911, perkumpulan ini meluas sampai ke daerah Bogor. Pada tahun itu juga,
Tirtoadisuryo mendorong H. Samanhudi, seorang pedagang batik dari Solo untuk
mendirikan perkumpulan yang sama. Pada akhir tahun 1911, Haji Samanhudi
menghimpun para pengusaha batik di dalam sebuah organisasi yang bercorak agama
dan ekonomi, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) Solo yang pada akhirnya mampu
lebih berkembang dari SDI Batavia.
Sarekat Dagang Islam
dibentuk dengan tujuan mengimbangi pedagang-pedagang dari Timur asing seperti
Cina, Arab dan India. Bila ditinjau dari anggaran dasarnya, tujuan Sarekat dagang
Islam meliputi Mengembangkan jiwa dagang bagi anggotanya; Membantu
anggota-anggotanya yang kesulitan dalam berusaha; Memajukan pengajaran dan
semua usaha yang mempercepat naiknya derajad rakyat; Hidup menurut perintah
Agama Islam.
Dari tujuan yang tercantum
dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik. namun dari
perkembangannya yang pesat dari segi anggota dan wilayahnya, maka menimbulkan
kekhawatiran pihak Pemerintah Hindia-Belanda. Oleh karena itu Gubernur Jendral
Idenburg yang berkuasa pada waktu itu meminta nasehat dari residen untuk
menentukan kebijakan politiknya. Pada bulan Agustus 1912, pemerintah
mengeluarkan peraturan umum yang melarang Sarekat Islam menerima anggota baru
dan mengadakan rapat.
Sarekat Islam (SI)
Pada bulan November
1912, Ketua Sarekat Dagang Islam diganti oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Sedangkan H. Samanhudi berperan sebagai Ketua Kehormatan. pergantian struktur
pemimpin tersebut sekaligus mengganti nama Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi
Sarekat Islam (SI). Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaannya
menjadi lebih luas, bukan dari kalangan pedagang saja, melainkan dari
masyarakat luas. SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Keanggotaan SI
bersifat terbuka sehingga mampu menyentuh lapisan masyarakat bawah yang selalu
tertindas. Tujuan
SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara
muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Dalam Kongres
pertamanya yang diadakan pada bulan Januari 1913, HOS. Tjokroaminoto menyatakan
bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan untuk meningkatkan
perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang mengalami kesulitan
ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat Indonesia. Adapun tujuan dasar dari Sarekat Islam
meliputi: Mengembangkan jiwa dagang; Memberikan bantuan kepada anggotanya yang
menderita kesulitan; Memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya
derajat bumiputra; Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama Islam;
Hidup
menurut perintah agama.
Kiprah SI dalam pers
tertuang dalam Surat kabar SI “Oetoesan
Hindia”. Oetoesan Hindia merupakan surat kabar Sarekat Islam yang terbit pertama
kali pada bulan Desember 1912 di Soerabaya. “Oetoesan Hindia”
adalah corong bagi pergerakan SI. HOS Tjokroaminoto adalah direktur
administrasi dan sekaligus pemimpin redaksinya. HOS Tjokroaminoto adalah
jurnalis yang rutin menulis di Oetoesan Hindia ini paling tidak satu kali dalam
sebulan. Topiknya beragam, mulai persoalan politik, hukum, hingga perdebatan
antara paham sosialisme dan Islam.
Peraturan pemerintah
terkait dengan SI semakin berkembang pada tahun 1913 dikeluarkan peraturan lagi
yang menetapkan bahwa organisasi cabang harus berdiri sendiri menjadi SI local
/ afdeling. Pada tahun 1915, SI
berhasil membentuk 50 cabang organisasi di berbagai kota. Politik segmentasi
(pemisahan) terhadap SI bertujuan untuk mengurangi kekuasaan pengurus pusatnya
dan SI afdeling mudah diawasi oleh
pegawai pamong praja setempat serta menghindari bahaya aksi massa secara
nasional.
Pertumbuhan SI yang
cepat dan tanpa adanya koordinasi mengakibatkan
sebagian besar pengikutnya tidak mengetahui tujuan dasar SI. Dengan
keadaan yang demikian tentu timbul adanya penyimpangan-penyimpangan dari
perjuangan SI. Terdapat beberapa aksi massa yang mengatasnamakan SI, seperti
gerakan anti Cina di Surakarta, Bangil, Tuban, Rembang dan Kudus (1918) serta
gerakan anti judi dan pelacuran di Batavia.
SI
sebagai Partai Politik
Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg
menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran
dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh
perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta
penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah
anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan
perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada
bulan Maret tahun 1916.
Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi
partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917,
yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam CSI
menjadi anggota volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan
mewakili Central SI sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh terdepan
dalam Centraal Sarekat Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga
yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad, karena
volksraad dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang hanya
mementingkan urusan penjajahan di Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak kaum
pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah menyuarakan agar bangsa Hindia
(Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri, yang hal ini
ditolak oleh pihak Belanda.
Perubahan
perjuangan SI terlihat dari Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober
1917, Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29 September hingga 6 Oktober 1918 di Surabaya.
Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan jika Belanda tidak melakukan
reformasi sosial berskala besar, SI akan melakukannya sendiri di luar parlemen.
SI Afdeling Semarang
Sarekat Islam Semarang
didirikan oleh Raden Muhammah Joesoep bersama Raden Soedjono pada awal tahun
1913 yang merupakan cabang dari Sarekat Islam Surakarta. Seperti halnya SI, Sarekat
Islam Semarang merupakan
organisasi berasaskan agama Islam dengan tujuan awal
berdiri adalah faktor ekonomi yaitu persaingan dagang dengan pedagang-pedagang
Cina. Karena pengaruh paham sosialis-revolusioner Sarekat
Islam Semarang dalam
pergerakannya menjadi radikal.
Pengaruh Marxisme
Benih-benih
Marxisme pada awalnya disebarkan oleh Hendricus
Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Semua ia bekerja sebagai anggota staf
redaksi surat kabar Soerabajasch
Handelsblad. Pada tahun 1913 ia pindah ke Semarang menjadi sekretris Semarangse Handelsvereeniging. H.J.F.M.
Sneevliet merasa beruntung menetap di Semarang karena daerah tersebut merupakan
pusat dari Vereeniging Van Spooren
Tramweg Prsoneel (VSTP), serikat buruh tertua di Indonesia. H.J.F.M.
Sneevliet membawa VSTP ke arah yang lebih radikal.
Pada
tanggal 9 Mei 1914, H.J.F.M. Sneevliet berhasil mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging).
Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri
atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh
Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia
Belanda. Namun
ISDV dirasa lambat berkembang karena tidak mengakar pada rakyat Indonesia. Oleh
karena itu ISDV menganggap bersekutu dengan organisasi local lebih efektif.
Langkah pertama bergabung dengan Insilinde,
satu organisasi yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, namun hasilnya tidak
memuaskan. SI yang sedang mangalami perkembangan pesat dipandang efektif
sebagai jembatan penghubung kepada rakyat Indonesia. ISDV akhirnya berhasil
melakukan penyusupan (infiltrasi) ke
dalam cabang SI. Kondisi kepartaian pada saat itu memungkinkan seseorang
menjadi anggota lebih dari satu partai. Di sini ISDV memberi kesempatan anggota
SI menjadi anggota ISDV dan sebaliknya. ISDV mampu dengan mudah menyusup ke
tubuh SI karena pada waktu itu Central Sarekat
Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat SI masih lemah, sehingga cabang SI
bertindak sendiri secara bebas. Selain itu tujuan yang sama yaitu membela
rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda merupakan
daya tarik tersendiri. Dalam waktu satu tahun, Sneevliet telah memiliki
pengaruh yang kuat di tubuh SI. hal tersebut didukung keadaan harga yang
membubung tinggi dan rendahnya upah buruh akibat Perang Dunia I.
SI Pecah
menjadi SI Merah dan SI Putih
Dengan
usaha yang baik, Faham Marxisme berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh muda SI
seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal
ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS
Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI Merah
berlandaskan asas sosialisme-komunisme.
Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam
tubuh SI antar lain Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat
memiliki kekuasaan yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak
sendiri-sendiri. Pemimpin cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan
nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen adalah ketua SI Semarang. Sementara itu Peraturan
partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat pada
mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi
non-politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan
anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917
di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang. Akibat dari Perang Dunia
I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya harga-harga dan
menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas pemerintah kolonial
mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV. Di lainpihak akibat
kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem
liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang
melanda pada tahun 1917 di Semarang.
SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo)
berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta.
Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan
HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.
Pada tahun 1919 terdapat beberapa tokoh ISDV golongan Eropa
yang tertangkap. Maka tokoh-tokoh Indonesia muncul sebagai tokoh ISDV
diantaranya Semaun dan Darsono. Kedua tokoh tersebut berpengaruh besar terhadap
SI Semarang yang bersikap radikal. Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin
melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai
Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada saat
kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil
Ketua Muhammadiyah
mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak
akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang
bertentangan. Di samping itu H. Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid
(Belanda:
kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang pencampuran
agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI
haluan kanan (SI Putih).
Lahirnya
Partai Komunis Indonesia
Di tengah-tengah tertangkapnya anggota ISDV golongan Eropa
pada tahun 1919, maka muncul tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang menduduki
jabatan di tubuh ISDV, seperti Semaun dan Darsono. Di dalam tubuh SI-pun, kedua
tokoh tersebut mendapatkan jabatan yang penting, yaitu sebagai Komisaris
Wilayah Jawa Tengah dan sebagai juru propaganda SI. Sementara itu pada tahun
1918, organisasi Social Demokratische
Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda berubah menjadi Partai Komunis. Sejalan
dengan hal tersebut, ISDV di Indonesia terutama dari golongan Eropa mengusulkan
untuk mengikuti jejak SDAP untuk membentuk Partai Komunis. Tertanggal 23 Mei
1920, terbentuklan Partai Komunis Hindia. Kemudian pada bulan Desember 1920
diganti Partai Komunis Indonesia dengan Semaun menjadi ketua dan Darsono
wakilnya.