Rabu, 24 November 2010

KERAJAAN PAJANG

KERAJAAN PAJANG
1. Pendahuluan
Menurut Kitab Kitab Nagarakretagama yang ditulis pada tahun 1365, daerah Pajang semula dikuasai oleh Bhatara i Pajang atau yang biasa disingkat Bhre Pajang. Tokoh yang menduduki Bhre Pajang tersebut adalah adik perempuan dari Hayam Wuruk, Raja Majapahit, yaitu Dyah Nertaja. Dyah Nertaja juga merupakan ibu dari Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya.
Dalam naskah-naskah babad, negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang sudah melegenda menyebut Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.
Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya. Atas jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Andayaningrat.
Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kesultanan Demak. Namun beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Hukuman mati itu diberikan karena Ki Ageng Pengging mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat. Setelah ayahnya mangkat, Joko Tingkir kemudian dibesarkan oleh pamannya, Ki Ageng Tingkir. Setelah dewasa, ia diperintahkan pamannya untuk pergi ke Kutaraja Demak dan mengabdi ke Sultan yang berkuasa, yaitu Sultan Trenggono. Jaka Tingkir memiliki nama kecil, yakni Mas Karebet. Tingkir adalah nama tempat Mas Kerebet dibesarkan. Pada saat datang ke Demak terdapat seekor Kerbau yang bernama Syahdan mengamuk di Demak. Dalam kesempatan ini diadakanlah sebuah sayembara yang menyatakan, bahwa siapa saja yang dapat menaklukkan banteng itu, akan diangkat sebagai punggawa kesultanan. Jaka tingkir mengikuti sayembara tersebut, dan ia berhasil melumpuhkan si banteng dengan sekali pukulan saja. Karena kesaktiannya, Jaka Tingkir diterima mengabdi, bahkan kemudian menjadi menantu Sultan Trenggana dan diberi sebuah wilayah bernama pajang, dengan Jaka Tikir sebagai adipatinya.
Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Sultan Trenggana, dan menjadi Bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Setelah Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546, anaknya yang bernama Sunan Prawoto diangkat sebagai penggantinya. Akan tetapi, ia kemudian meninggal terbunuh dalam perebutan kekuasaan oleh keponakannya sendiri, yaitu Arya Panangsang, yang semula menjadi Bupati Jipang tahun pada tahun 1549. Arya Penangsang merupakan murid Sunan Kudus. Jadi di dalam peristiwa ini peran Sunan Kudus sangat besar dalam membantu Arya Penangsang. Dalam perebutan kekuasaan tersebut, Pangeran Hadiri (Suami Ratu Kalinyamat = menantu Sultan Trenggono) dari Jepara juga ikut terbunuh. Ratu Kalinyamat adalah adik Sunan Prawoto. Hal ini adalah siasat Arya Penangsang untuk menghabisi seluruh keturunan Sultan Trenggono. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggono) namun gagal.
Di pihak lain, Kadipaten Pajang juga telah beranjak kuat dan memiliki wilayah yang luas. Maka terjadilah pertentangan antara Jaka Tingkir dan Arya Penangsang. Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya dan yang juga tidak menyukai Arya Penangsang serta dukungan ratu kalinyamat yang dendam atas kematian suaminya yang dibunuh Aryo Penangsang, Jaka Tingkir akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang.
Kisah menaklukan Arya Penangsang terekam di dalam cerita babad, tentu saja dengan bumbu-bumbus mitos. Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Jaka Tingkir mendapat bantuan dari tiga orang yakni Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani. Arya Penangsang terkenal sakti, karena merupakan murid utama Sunan Kudus, senapati perang kerajaan Demak. Untuk menghadapi kesaktian Arya Penangsang, ketiga orang tersebut membuat strategi. Taktik dijalankan, awalnya dengan menangkap dan melukai telinga kuda kesayangan Arya Penangsang, Gagak Rimang. Kuda itu kemudian dikembalikan ke kandangnya. Mengetahui hal itu, Arya Penangsang sangat murka, dan langsung mencari yang dianggap bertanggung jawab.
Dilihatnya, orang yang melukai Gagak Rimang lari ke arah tepi Bengawan Solo, Maka Arya Penangsang mengejarnya. Di Bengawan Solo, pasukan Ki Ageng Pemanahan yang terdiri dari Ki Penjawi, dan Ki Juru Martani serta puteranya Sutowijaya sudah menunggu. Saat itu Danang Sutawijaya anak Ki Gede Mataram, sudah menunggu di balik gerumul semak di seberang sungai. Ketika Arya Penangsang tiba di tepi Bengawan Solo, diseberang dilepaskan seekor kuda betina. Maka, gagak rimang langsung mengejar kuda betina tersebut tanpa bisa dikendalikan, dan menyeberangi bengawan solo. Di seberang bengawan, Danang Sutawijaya sudah siap, menghunus tombank Kyai Plered. Begitu posisi dekat, Arya Penangsang ditikam dengan tombak di tangan Sutawijaya. Ia terjatuh, ususnya terburai. Namun, Arya Penangsang bangkit lagi, dan melilitkan ususnya di kerisnya, Kyai Setan Kober. Lantas ia menerjang Sutawijaya, sambil menghunus kerisnya. Tetapi ia lupa, keris saktinya terlilit ususnya sendiri, hingga menggores ususnya. Arya Penangsang tewas seketika.
Sepeninggal Arya Penangsang, Kerajaan Demak terjadi kekosongan kekuasaan. Atas kesepakatan keluarga kerajaan dan Kadipaten-kadipaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Jaka Tingkirpun menjadi pewaris takhta Kesultanan Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.

2. Kesultanan Pajang
Kesultanan Pajang terletak di daerah Kartasura (dekat Surakarta), Jawa Tengah. Kesultanan ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman. Sebelumnya, kerajaan Islam selalu berada di daerah pesisir, karena Islam datang melalui para pedagang dari Asia Barat yang berlabuh di pesisir.
Pada awal berdirinya pada tahun 1549, wilayah Kasultanan Pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah saja. Kasultanan Pajang tidak bisa mewarisi kekuasaan Kerajaan Demak, karena negeri-negeri di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggono. Sebagai langkah pertama peneguhan kekuasaan, Sultan Hadiwijaya memerintahkan agar semua benda pusaka demak dipindahkan ke Pajang. Setelah itu, ia menjadi salah satu raja yang paling berpengaruh di Jawa. Berkat jasa Sunan Prapen, Pada tahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Kasultanan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur.
Sultan Hadiwijaya memperluas kekuasaannya di jawa pedalaman ke arah timur sampai daerah madiun, di aliran anak bengawan Solo yang terbesar. Tahun 1554, Blora, dekat Jipang, diduduki pula. Kediri ditundukannya pada tahun 1577. tahun 1581, sesudah usia sultan Hadiwijaya melampaui setengah baya, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan islam dari raja-raja terpenting di jawa timur.
Meskipun Sultan Hadiwijaya sangat berpengaruh dan kuat, akan tetapi Pajang tidak mampu memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah lautan. Bahkan Madura pun tidak masuk dalam wilayah kekuasaan Pajang. Mungkin, ini merupakan salah satu akibat posisi pajang yang berada terlalu masuk ke pedalaman jawa. Meskipun perluasan wilayah tidak dapat dijalankan secara maksimal, selama pemerintahan hadiwijaya, bidang kesusastraan dan kesenian yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat laut dikenal di pedalaman jawa. Pengaruh islam yang kaut di daerah pesisir pun menjalar dan tersebar ke pedalaman. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan putri Sultan Hadiwijaya. Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Sultan Hadiwijaya. Salah seorang anak menantu Sunan Prawoto yaitu Arya Pangiri, diangkatnya menjadi adipati Demak
Demikian pula hubungan dengan orang-orang yang berjasa kepadanya, yaitu Ki Ageng Pemanahan (putra dari Ki Ageng Ngenis (=Henis), dan cucu Ki Ageng Selo), diberinya imbalan daerah Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) pada tahun 1558 untuk ditinggali. Sunan Kalijaga yang membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Sultan Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang. Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Sultan Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Sultan Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Pemberian tanah di daerah Mataram oleh Joko Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang karena Mataram akan menghabisi kekuatan Pajang. Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, di tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia.

3. KERUNTUHAN PAJANG
Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin hari semakin maju dan berkembang.
Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Sultan Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang jumlahnya lebih besar.
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Hadiwijaya meninggal dunia pada tahun 1587. Jenazahnya dimakamkan di Butuh, suatu daerah sebelah barat taman Keraton Pajang. Ia digantikan oleh menantunya, Arya Pangiri, anak Sunan Prawoto. Sebelum diangkat ke tahta pajang, Arya Pangiri adalah penguasa demak. Sementara itu, anak sultan Hadiwijaya, pangeran Benawa, disingkirkan oleh Arya Pangiri, dan dijadikan Adipati Jipang. Maka tak bisa dihindari terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri
Sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583. Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya meminta bantuan untuk menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Meski demikian, benawa mengakhiri kekuasaannya dengan mengundurkan diri dari tahta, lalu memilih hidup mengabdi untuk agama.
Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.

Tidak ada komentar: